Sabtu, 24 April 2010

Misteri Cumi-Cumi Kolosal Seberat 500kg

Para ilmuwan perairan di Selandia Baru, Selasa (29/4), mulai mencoba meneliti jasad cumi-cumi kolosal yang tertangkap untuk menguak rahasia monster bawah air yang misterius itu.

Tak seorangpun yang pernah tahu bagaimana cumi-cumi berukuran super besar masih bisa hidup di habitatnya di kawasan samudera lepas. Para ilmuwan berharap kajian mereka untuk cumi-cumi sepanjang 26 kaki seberat 1.089 pon (sekitar 500 kg) yang dimulai pada Rabu, akan membantu menentukan bagaimana makhluk ini bisa bertahan hidup. Proses dan hasil penelitian ini akan disiarkan langsung melalui internet.

Cumi-cumi yang tertangkap secara kebetulan oleh seorang nelayan tahun lalu dipindahkan dari ruang pendingan, Senin (28/4) dan dimasukkan ke dalam tanki yang diisi dengan “saline solution” ditambah es untuk memperlambat proses pembusukkan dan agar tetap segar, jelas Carol Diebel, direktur lingkungan alam di museum nasional Selandia Baru, sebut Te Papa Tongarewa.

Setelah dikaji, para ilmuwan akan memeriksa gambaran anatominya, memindahkan bagian perutnya, bagian depan, dan mengambil sample jaringan tubuhnya untuk analisis DNA dan menentukan jenis kelaminnya, jelas Diebel.

“Jika yang kita temukan adalah jantan, maka ini merupakan spesies jantan pertama yang dilaporkan secara ilmiah,” jelas Steve O’Shea, pakar cumi-cumi di Universitas Technologi Auckland kepada National Radio. Dialah salah seorang ilmuwan yang melakukan pengujian untuk hal ini. Cumi-cumi ini dipercayai contoh terbesar dan terlangka di perairan dalam untuk jenis Mesonychoteuthis hamiltoni atau cumi-cumi kolosal yang pernah ditangkap, kata O’Shea.

Cumi-cumi kolosal dianggap sebagai salah seekor mahluk laut dalam yang paling misterius ini mampu tumbuh sampai mencapai 46 kaki dengan kemampuan menyelam di kedalaman lautan sampai 6.500 kaki dan dianggap sebagai pemburu agresif. Saat ditemukan, O’Shea mengatakan hewan ini tertangkap dengan bau khas ammonia.

Para nelayan di lepas pantai Antartika secara kebetulan mencangkap cumi-cumi ini pada bulan Februari 2007 saat tengah menangkap ikan Patagonia yang dijual dengan memakai nama mirip ikan sea bass Chili.

Cumi-cumi ini menyantap umpan ikan toothfish saat terjerat dari dasar laut. Mengetahui ini adalah penemuan langka, para nelayan lantas membekukan hewan ini di dalam kapal mereka untuk diawetkan. Museum nasional, Te Papa Tongarewa lantas mengambil alih bangkai mahkluk ini.

Cumi-cumi kolosal sebelumnya yang pernah ditemukan adalah cumi-cumi betina sebarat 660 pon pada tahun 2003.

Para peneliti berencana memerkan hewan ini di dalam sebuah tanki dengan 1.800 liter air formaldehyde di museum mereka di Wellington.

Cumi-cumi kolosal ditemukan di perairan Antartika dan tidak ada kaitannya dengan yang ditemukan di pantai lepas Selandia Baru. Cumi-cumi raksasa diperkirakan hanya mampu tumbuh hingga sepanjang 39 kaki dan tidak sebesar cumi-cumi kolosal, walau keduanya berukuran sangat besar dibanding cumi-cumi yang sering anda santap di restoran seafood. *

Jumat, 23 April 2010

Asyiknya Ngupil....

Ternyata, kegiatan ngupil itu sungguh mengasyikan! Nggak perduli apakah Anda itu cantik menawan, ganteng rupawan, necis dan bau wangi ataupun item dekil, pasti pernah melakukan kegiatan ini. Hayo ngaku..! Coba diingat-ingat kapan saat terakhir Anda ngupil, atau jangan-jangan saat lagi baca artikel ini juga sambil ngupil hmmm…. Sayapun demikian. Melakukan kegiatan ngupil untuk mengisi waktu senggang di lapangan, pas lagi ngoki, sambil nonton atau bahkan sambil baca koran. Tapi untuk kasus di atas lain lho ya..., entah kenapa kok saat itu desakan nafsu ngupil demikian kuat meskipun sedang mengikuti meeting. Untung saya duduknya agak jauh dari pantauan mata si boss hehehe…

Ngupil atau mengoprek lobang hidung, adalah kegiatan iseng-iseng yang sungguh berguna dan hampir pernah dilakukan semua orang yang sehat. Kenapa? Karena kalau orang sakit pilek pasti nggak mau melakukannya. Atau pas hidung lagi mimisan, mana enak ngupil? Bisa-bisa malah jari jemari kita yang dipakai buat ‘acara iseng’ ini tercemar dan bisa mencemarkan lingkungan sekitar. Makanya, ngupil itu sehat karena tidak membiarkan lubang hidung kita kotor dan biasa dilakukan oleh orang sehat. Setuju? Siapa yang nggak setuju ini, silahkan ngupil dengan jari kaki.

Saya jadi ingat waktu kecil sering dimarahi orang tua kalau ngupil di depan pintu, sambil merem melek menelusuri rongga hidung dimana tempat upil itu bersembunyi. Rasanya kok belum puas ya kalau belum bisa mengeluarkan ‘benda’ itu, (apalagi kalau gede dan keras) dari sarangnya? Memang segala sesuatu itu kalau berhubungan dengan ‘besar’ dan ‘keras’ selalu menghasilkan puas. Tapi tunggu dulu, apa hubungannya saya dimarahin orang tua sama ngupil di depan pintu? Hm.., ternyata bukan kegiatan ngupil itu yang membuat orang tua saya marah tapi karena beliau mau keluar rumah jadi terhalang saya yang lagi asyik pas di depan pintu… hihihih!

Sebenarnya, apa sih upil itu? Upil adalah sebentuk kotoran yang terdapat pada lubang hidung yang terjadi akibat proses pernafasan, dimana ada micro-orgasme eh.., micro-organisme lainnya yang ikut terhirup paru-paru lewat hidung. Nah, untung Tuhan menganugerahkan kita bulu di hidung (ada yang tau namanya?) untuk menangkal semua itu supaya nggak ikut masuk ke dalam paru-paru yang bisa menyebabkan penyakit. Jika masih ada yang mampu menerobos pertahanan bulu hidung, masih ada lendir hidung atau ingus yang bertugas mencegah partikel debu dan benda asing lainnya dengan ukuran mikroskopis supaya nggak masuk ke hidung. Dari saringan bulu hidung yang juga berfungsi untuk meningkatkan kelembaban udara yang dihirup plus bantuan lendir / ingus inilah sang upil terbentuk dengan berbagi tingkat kekerasan dan ukuran.

Hebat betul ya, fungsi bulu hidung ini? Makanya jangan remehkan segala jenis maupun bentuk bulu, apapun itu pasti ada fungsinya karena Tuhan telah menciptakan demikian adanya. Entah bulu hidung Anda lebat atau jarang, entah lurus atau keriting, entah panjang atau pendek, pasti ada gunanya. Sedikit untuk masalah bulu hidung ini, bila kita merasa mulai terganggu dengan ulahnya yang menjulur keluar dari lobangnya, lebih baik dicukur daripada dicabut. Karena dengan mencabut bulu hidung bisa menimbulkan luka kecil di rongga hidung dan malah-malah bisa menimbulkan infeksi. Tapi bukan bulu hidung ini yang akan saya bahas, melainkan penghuni dari lubang hidung itu sendiri alias upil.


Ngomong-ngomong masalah upil dan ngupil ini nggak bakal ada habisnya. Terus terang, sambil nulis artikel ini sayapun juga sambil ngupil, lebih dari sekedar membersihkan hidung tapi juga untuk lebih bisa menikmati apa arti dari upil dan ngupil itu. (Natya & Bejan musti tanggung jawab nih, nyuruh-nyuruh bikin artikel bulu hidung). Memang, masalah upil dan ngupil ini asyik dan bisa membuat kita lupa daratan jika dilakukan pada tempat dan waktu yang benar. Sebaliknya, bisa membuat orang lain terganggu atau malah membawa aib. Malah ada lho, saking asyiknya ngupil orang itu nggak sadar lagi disorot kamera televisi dan gambarnya tersebar kemana-mana.. (http://nasional.kompas.com/read/2010/03/09/09375233/Foto.Ngupil.Beredar..Roy.Suryo.Protes). Nah, kalau udah begini kan repot? Mau marah kok aneh, nggak mau marah kok kadung malu.. hihihi… Padahal percayalah..., ngupil itu sungguh nikmat dan perlu!

Nah, supaya nggak mengalami kejadian memalukan seperti cuplikan berita di atas, berikut ada cara-cara ngupil yang baik dan benar:

  1. Gunakan jari yang tepat
    Gunakan jari kelingking terlebih dahulu baru kemudian jari telunjuk. Kenapa? Karena ukuran jari kelingking sangat ideal untuk menyapa upil-upil kecil yang duduk manis di dalam sana. Bila si upil imut sudah bisa keluar, biasanya giliran upil gede masih setia menunggu giliran sentuhan jari Anda. Nah, tentu diperlukan ukuran jari yang sesuai untuk mengeluarkannya, bukan? Gunakan jari telunjuk untuk ‘abangnya’ si upil imut ini. Ingat, jari telunjuk ya, bukan jari tengah karena dikhawatirkan si upil tersinggung dan nggak mau keluar karena diacungi jari tengah.
  2. Carilah suasana yang nyaman dan tentram
    Ini perlu supaya peristiwa yang menimpa saya di atas nggak perlu terjadi, sehingga keasyikan ngupil jadi terusik. Atau sebaliknya, coba kalau misalnya kita ngupil di perempatan jalan yang lalu lintasnya ramai, bukan keasyikan ngupil yang didapat melainkan maut yang datang menjemput.
  3. Bertanggung-jawab
    Setelah mengupil, selalu siapkan tisu untuk tempat upil. Kalau nggak bawa tisu boleh juga disimpan dulu sampai Anda menemukan tempat sampah. Boleh juga digenggam erat-erat atau dimasukkan saku celana atau baju. Tapi ingat, jangan sekali-kali mengoleskan atau membuang upil di sembarang tempat trus pergi diam-diam setelah keadaan dirasa aman.
  4. Jangan Berlebihan
    Cukuplah bila kegiatan ngupil Anda ini berjalan apa adanya tanpa membayangkan yang enggak-enggak, apalagi disertai dengan desahan-desahan erotis dan lidah membasahi bibir. Nanti orang lain yang mendengar malah menganggap Anda sedang berfantasi seks.
  5. Berperilaku Dewasa
    Segera setelah selesai dengan kegiatan ngupil ini, nggak perlu Anda berkreasi dengan membentuk upil menjadi sesuatu yang menarik sekedar untuk melatih kreatifitas. Misalnya, membentuk upil menjadi mobil-mobilan atau motor sport dan menjadikannya sebagai mainan. Berperilakulah dewasa, jangan kayak anggota DPR.
  6. Berperilaku Efektif
    Bila Anda sedang sibuk dan nggak bisa meluangkan sedikit waktu untuk ngupil, lakukan sekaligus dengan dua jari tangan. Dalam hal ini kelingking dan jari manis bisa dikerahkan sekaligus buat menyingkat waktu. Atau bila perlu, minta tolonglah ke rekan untuk memeriksa hidung Anda sekedar memastikan apakah ada upil di lobang hidung. Percuma kan, kalau ternyata nggak ada upil tapi harus membuang waktu untuk ngupil?
  7. Berperilaku Adil
    Jangan biarkan salah satu lobang hidung Anda cemburu dan dibiarkan penuh dengan upil hanya gara-gara Anda selalu ngupil di satu sisi lobang saja. Bila hari ini lobang hidung sebelah kiri sudah plong dan bebas upil, ada baiknya giliran sisi satunya anda eksplorasi di hari berikutnya. Kalau perlu buatlah jadwal ngupil supaya teratur.
  8. Berperilaku Pelit
    Maksudnya adalah, bila Anda sudah selesai dengan kegiatan ngupil cukuplah rasa dan sensasi dari upil dan mengupil itu dirasakan sendiri dan nggak perlu berbagi kepada teman, apalagi sampai memaksa teman Anda untuk merasakan buah upil yang telah sukses dikeluarkan. Ingat pepatah “dari hal yang kecil bisa menjadi besar”. Kenapa begitu, karena bermula dari si upil yang imut itu bisa membuat jidat benjol-benjol sebesar 5x ukuran upil, kalau Anda nekad sharing dengan teman atau orang lain.
  9. Jangan Memaksakan Kehendak
    Lakukan ngupil atas kreatifitas sendiri dan di lobang hidung sendiri, jangan di hidung teman. Ingat, belum tentu orang lain merelakan lobang hidungnya dikorek-korek, padahal maksud Anda sebenarnya baik. Malah bisa-bisa Anda dilaporkan polisi dan terkena pasal “nose abusement”.
  10. Jadikanlah Falsafah Hidup Sehat
    “Tiada Hari Tanpa Ngupil”

Hehehe…., sudah mual-mual gara-gara baca artikel ini? Atau malah Anda tergerak untuk mulai menggalakkan budaya ngupil dari sekarang? Hm…, kalau masih kuat baca ayo dilanjutin ke bawah..

Seorang Dokter Spesialis Paru-Paru asal Austria yang bernama Prof DR Friedrich Bischinger malah menyarankan agar upil kering yang berhasil kita korek bisa meningkatkan stamina karena mengandung zat-zat yang memperkuat system kekebalan tubuh. Nah, kan?! Ternyata si upil dan ngupil yang selama ini dianggap sebagian orang menjijikkan malah bisa membuat hidup kita lebih sehat. Selain itu,bila Anda rajin mengkonsumsi upil, kan lumayan juga bisa mengurangi pos belanja garam… hehehehe… Cuma diperlukan sedikit keberanian untuk mencobanya dengan mengumpulkan upil demi upil tiap harinya (jangan lupa disimpan dalam suhu kamar biar nggak lekas kering), lantas dicampurkan ke bahan makanan. Atau bisa juga dipakai sebagai lalapan atau cemilan di waktu senggang.

Berani mencoba?

Yang jelas, saya menunggu saja reportase dari kokiers yang berani melakukan langkah terobosan ini demi kemajuan umat manusia. Wekekekekeke…

Salam Ngupil.

Kamis, 22 April 2010

Jejak Sepatu di Karpet

Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih dan bersih dan teratur, suami serta anak2nya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yg pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu : 'Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan' Ibu itu kemudian menutup matanya.

'Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?'

Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yg murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan; 'Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi'. Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, nafasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.

'Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu meli hat jejak sepatu & kotoran disana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu'. Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.

'Sekarang bukalah mata ibu' Ibu itu membuka matanya 'Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?' Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. 'Aku tahu maksud anda' ujar sang ibu, 'Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif'.

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap meli hat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.

Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang :

Saya BERSYUKUR;

1. Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain.

2. Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.

3. Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan

4. Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, karena itu artinya saya bekerja dan digaji tinggi

5. Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman

6. Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan

7. Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras

8. Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat

9. Untuk bunyi alarm keras jam 5 pagi yg membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup

10. Untuk setiap permasalahan hidup yang saya hadapi, karena itu artinya Tuhan sedang membentuk dan menempa saya untuk menjadi lebih baik lagi

Salam,

S. Teguh W.

Rabu, 21 April 2010

Bertambah Lagi Manfaat Sunat Laki-laki

Vera Farah Bararah - detikHealth


img
Ilustrasi (Foto: ehow)
Baltimore, AS, Manfaat sunat pada pria makin bertambah lagi. Selain bisa mengurangi risiko tertular HIV melalui hubungan seks heteroseksual, pria yang disunat juga jauh dari risiko terkena virus human pappiloma virus (HPV) yang menjadi penyebab penyakit kelamin.

HPV adalah virus yang sangat umum dan terdiri lebih dari 100 strain yang sebagian besar menyebabkan kutil kelamin (genital warts). Infeksi beberapa jenis HPV yang menetap dapat menyebabkan kanker.

HPV juga adalah penyebab utama kanker serviks pada perempuan dan juga kanker penis serta kanker dubur. Sedangkan sistem kekebalan tubuh yang baik dapat membersihkan infeksi ini pada beberapa orang.

"Orang yang terinfeksi HIV seringkali juga menderita infeksi HPV dan karena sistem kekebalan tubuhnya rendah menjadi sangat rentan mengembangkan HPV yang terkait dengan kanker," ujar Prof Dr Ronald H. Gray dari Johns Hopkins University School of Public Health di Baltimore, seperti dikutip dari Reuters, Senin (19/4/2010).

Studi terkini yang dilaporkan dalam Journal of Infectious Diseases, menemukan bahwa sunat dapat menurunkan tingkat infeksi HPV penyebab kanker sebesar 33 persen pada laki-laki yang HIV-negatif dan sebesar 23 persen pada laki-laki yang HIV-positif. Hasil ini setelah masing-masing dibandingkan dengan laki-laki yang tidak disunat.

Penelitian ini melibatkan 210 laki-laki yang HIV-positif dan 840 laki-laki yang HIV-negatif dengan usia antara 15-49 tahun. Selain dapat mengurangi risiko infeksi HPV, sunat juga bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh yang membuat seseorang terhindar dari infeksi.

"Masalah HPV dan kanker yang terkait dengan HPV memang cukup berat di wilayah sub-Saharan Afrika, tapi kemungkinan sunat bisa memiliki manfaat dalam hal mencegah kanker pada laki-laki maupun perempuan," ujar Dr Gray yang juga menjadi peneliti senior dalam studi Uganda.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah merekomendasikan sunat sebagai salah satu cara untuk menekan risiko HIV pada laki-laki. Selain itu di negara-negara yang memiliki kasus HIV tinggi, rekomendasi sunat tidak bisa dibantah kecuali karena ada alasan medis.

"Penurunan prevalensi HPV yang terkait dengan pelaksanaan sunat adalah signifikan namun sederhana," ujar Drs Raphael V. Viscidi dan Keerti V. Shah yang juga dari Johns Hopkins University.

Sunat diperkirakan mengurangi transmisi heteroseksual terhadap HIV dan penyakit seksual lainnya termasuk HPV yang dapat menyebabkan kutil kelamin melalui beberapa mekanisme.

Salah satunya adalah dengan mengurangi jumlah jaringan mukosa yang terkena saat melakukan hubungan seks, hal ini membuat akses virus masuk ke dalam tubuh target menjadi terbatas. Kulit menebal yang terbentuk di sekitar luka sunat bisa membantu menghambat masuknya virus ke dalam tubuh.

(ver/ir)

What is RIGHT-BRAIN LEARNING?

Introduction

Most people have a dominant hand, a dominant foot and a dominant eye. And so it goes for the brain, and for most of us, the left hemisphere is dominant.

The school system generally rewards left-brained individuals, who think in a logical, linear fashion, and learn best through hearing. Right-brained people think in a non-linear, intuitive fashion, and learn best through seeing and feeling. At school, right-brained children will often be marked down for not showing the working used to reach their answers. What their teachers fail to realize is these children don't have the usual working to show, having reached the correct destination by an unorthodox route.

According to right-brain educators such as Glenn Doman and Makoto Shichida, accessing the right brain not only enables a child to learn more efficiently, it can even unlock genius-level abilities. It is not that right-brain teaching will give you a genius baby, but rather that there is a genius already inside every baby – if only we can access the abilities of the right brain.

What kind of genius babies are we talking about? Children with talents like speed reading and photographic memory – and the seemingly limitless powers of recall associated with them. Kids with the ability to produce an accurate drawing of something only once glanced at, or tell instantly that the number of items being shown to them is 97 – and not 98 or 96. Prodigious musical talents and the ability of perfect pitch also rely on the use of the right brain.

Seeing like Einstein

If any of the above rings a bell, it is probably because you are familiar with the phenomenon of savants – autistic or otherwise mentally deficient individuals with genius-level skills in specific areas.

According to studies using functional magnetic resonance imaging (fMRI) scans, both geniuses and savants show greater-than-average activation in the right hemisphere of the brain. The left brain is responsible for verbal processing, which explains why savants (who commonly have damage to the left brain) typically experience difficulties with language.

The right hemisphere of the brain is responsible for visual and spatial processing, and the ability to "see" problems in multiple dimensions is one of the most prodigious talents of the greatest physicists. Interestingly, Einstein not only possessed this ability, he also suffered from language delays in childhood, inviting suggestions that he was a savant.

So why can’t we all use our right brain the way Einstein did? Our left brain is dominant for a reason: by suppressing the activities of the right, it filters out a surfeit of data constantly bombarding our senses. This enables us to make sense of reality and avoid sensory overload. Without the left-brain filter, autism sufferers typically are hypersensitive to sensory stimuli and find ordinary social interactions overwhelming. The rest of us take for granted, for example, the ability to hold a conversation without being distracted by background noises. But because our perception of reality is controlled by the left brain, this means a great deal of the sensory input we receive is entering beneath the conscious radar, making it difficult to access that information at will.

The idea of right-brain teaching is to change both the way we learn and the way we recall data. The normal way to memorize information is to store it in our short-term memory (in the left brain) and use repetition to transfer it to our long-term memory (in the right brain). By bypassing the left brain and accessing our long-term memory directly, we learn faster. We can also learn to recall information normally not accessible because it has been received on a subconscious level – say, through speed reading. The only way to achieve this is by freeing the right hemisphere of the brain from its suppression by the left. In doing so, the right brain becomes activated – much as it is in a genius, savant, or young child!

Early childhood: the genius state

Learning with the left brain requires conscious effort; right-brain learning happens subconsciously, and so effortlessly. In small children, the right brain is already activated – which helps explain how children soak up information like sponges. In small children (and savants and geniuses), the right brain is activated because it is dominant. This is because the right hemisphere of the brain develops before the left, remaining dominant until the age of three and a half.

As the brain gradually shifts from right- to left-hemisphere dominance, right-brain teaching will increasingly need to follow on from deep relaxation and visualization. These techniques enable students to enter an alpha wave or absorbent state, which is highly compatible with right-brain learning. This is the state genius babies are naturally in!

If you find the idea of a genius or savant in everyone far-fetched, consider the following study by the University of Sydney’s Centre for the Mind. Director Allan Snyder uses harmless magnetic stimulation to temporarily switch off the left hemisphere of his subjects’ brains – thereby unlocking savant-like abilities. In the minutes after receiving the stimulation, subjects perform measurably better at tasks such as drawing a picture from memory, or guessing a large number of dots flashed up on a computer screen.

Whereas Snyder was able only to temporarily elicit these special abilities, right-brain educators aim to enable the genius baby to retain her right-brain talents as she gets older. While grown-up Doman and Shichida children may no longer be able to perceive quantity, some do retain the ability to mentally solve mathematical equations of a complexity that would require most people to use a calculator.

Now that you understand the basics of right-brain learning, you can find out more about the Doman and Shichida programs. You can also discover how to teach your own genius baby reading or math at home using right-brain techniques.